PUISI-PUISI KARYA CHOZIN NUARI.
TEATRIKAL BUMI
Malam masih basah bekas hujan senja tadi.
Bahkan kini mulai rintik lagi.
Lembab dan dingin.
Kelam malam pun semakin terlihat khusyu
menghitungi bulir-bulir air yang semakin menitik di muka bumi.
Perlahan-lahan tanah liat yang belum kering dari genangannya
menjadi semakin penuh karena tabungan air semakin mengisi.
Entah di mana bulan saat itu.
Awan gelap berarak-arak menyembunyikan bulan yang pucat
dan jutaan bintang yang biasanya mengerlip di muka langit yang menyuram.
Sepertinya bulan mengintip di satu gumpalan awan yang jenuh dengan air.
Malu-malu dengan jutaan rintik hujan yang bermain dan terjun bebas ke bumi. Sedangkan dia, masih ada di tempatnya.
Diam dan memantulkan sinar matahari
yang kebetulan terangnya sedang hijrah ke bagian bumi lain.
Tapi, kini dia sedang asyik melihat teater bumi.
AKU MEMINTA LAGI
Aku berdoa sekali lagi:
"Tuhan, kuatkan aku untuk kembali,.
dalam keadaan apapun.. "
Aku mencarinya sekali lagi,
dalam sebuah kemunafikan yang terpoles pesona jingga,
dalam perihnya kerotang di tengah luas samudera,
dalam gelapnya penjara di lenggangnya padang dunia.
Di sudut bumi ini,
aku mengiriminya sebuah pinta.
tentang cinta yang dulu aku punya.
Lagi,
Aku ingin mencintainya, serupa darah yang mengalirkan O2,
Aku ingin merinduinya, serupa lekatnya lemak dan tulang,
Aku ingin mendambanya, serupa paru yang merasa perlu dengan udara.
Di keperihan ini,
Aku mencarinya lagi,
Dan mengiriminya sebuah pinta lagi,
pada dia yang tak pernah bosan mendengarkan cerita.
Sungguh memalukan,
karena aku pernah merasa bosan.
Sementara dia,
pasti menyambut tangisanku.
Aku tak mau lagi,
tertawa dalam jiwa yang sepi
AKU RUMPUT
berlainan aku dengan tanaman kebanyakan
yang saling berlomba untuk merengkuh ketinggian
berebut cahaya matahari bagai tropi kejuaraan
tak jarang saling menyikut kiri dan kanan
kompetisi hidup yang tak kunjung berkesudahan
kerdil tubuh senantiasa aku bersyukur
sebab semakin jauh dari badai dan guntur
dan bilamana hujan datang berlibur
kuterima kasih melimpah lewat air mengucur
aku mengerti, Allah Maha Pengatur
kelimpahan tak membuatku oleng kiri kanan
sebagaimana sampan yang kelebihan muatan
kerendahan telah mengajariku tentang ketabahan
juga keikhlasan
tumbuh dan bernapas tak jauh dari rahim bumi
tempat akar kokoh berpijak dan bermuara nanti
senantiasa sujud tak terbilang kudirikan-resapi
sebanyak manusia memahat sepasang relief kaki
Asy Syaair (Penyair)
Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah*, aku berlindung dari penyair terkutuk, yang membangun kesunyiannya hanya berdasar kantuk, yang menggembalakan kebenaran namun ia sendiri berdusta, namun ia duduk
Demi alif yang tegak, aku berlindung dari penyair terkutuk, yang membedaki sajaknya dengan gunaguna dan kasakkusuk, yang berlidah panjang dan kerap melahirkan rayuan meliukliuk
Demi sajak yang dikorbankan, aku berlindung kepada Allah dari godaan penyair yang terkutuk, penyairpenyair penentang Muhamad, penyairpenyair murtad, penyair yang asyik masyuk dan mengkambinghitamkan sajak demi khayalannya yang gelap dan berbau busuk
Demi sihir yang diharamkan, demi manisan, dan demi lisan penyair terkutuk yang dikerubungi para syetan, aku berlindung kepada Allah
dari keberbahayaan katakata, dari kebercabangan maknamakna, yang ditanami pohonpohon ganja dan dicekoki beragam narkotika
oleh para pemabuk, oleh penyair terkutuk
Demi riwayat syair, demi penyair yang mengingat dzikir, aku berlindung kepada Allah dari penyair yang menafsir berahi, dari sajaknya yang mesum, berbau anyir, dan teramat basi
Dan demi penyairpenyair berbibir kering, bibirbibir penyair puasa, aku berlindung kepada Allah dari godaan penyair yang terkutuk, yang tak pernah mengenal rukuk, penyair yang saling hujjah, dan saling memfitnah demi diri sendiri
menelantarkan sajak yang ia tulis, lalu tergagap tatkala sajaknya berbalik mengadili
membawa gada api
Seperti aku berlindung kepada Allah, dari aku dan sajakku sendiri
2010
* (QS. YAA SIIN: 2)